Selamat Datang!

BAB 5 - HADIS BERDASARKAN TEMPAT PENYANDARANNYA XI-IIK

A. Hadis Qudsi 1. Pengertian Hadis Qudsi Hadits Qudsi di nisbatkan kepada kata Al Qudsu, sedangkan kata Al Qudsu artinya suci dan bersih. Digunakanlah Hadits illahi atas dasar pengertian tersebut, karena di nisbatkan kpada kata Ilaah dan Hadits Rabbani, karena di nisbatkan kepada kata Rabb (tuhan) Ta’ala. Sedangkan menurut istilah, Hadits Qudsi adalah Hadits yang disandarkan oleh Rasul Saw dan disanadkan kepada Tuhannya selain Al Qur’an. Atau Hadits yang lafadz matan-nya dari Nabi Muhammad SAW dan maknanya dari Allah SWT. Hadits Qudsi tidsak sama dengan Al Qur`an karena Al Qur`an lafadz dan matan-nya dari Allah SWT. Jumlah Hadits Qudsi menurut kitab Al Ittihafatus Sunniyah berjumlah 833 buah, termasuk yang shahih, hasan dan dlaif. 

 Perbedaan umum antara Al Qur`anul Karim, Hadits Nabi, dan Hadits Qudsi diantaranya; a. Al Qur`anul Karim mempunyai lafadz dan makna dari Allah SWT dan diturunkan secara berkala. b. Sedangkan Hadits Nabi memiliki lafadz yang bersumber dari Nabi SAW tetapi maknanya dari Allah SWT, dan diturunkan tidak secara berkala serta dinitsbatkan kepada Rasulullah SAW. c. Serta Hadits Qudsi, lafadz Hadits berasal dari Nabi Muhammad tetapi maknanya dari Allah SWT, tidak berkala, dinitsbatkan kepada Allah SWT. Perbedaan dalam bentuk penyampaianya adalah: a. Al Qur`an selalu memakai kata "qalallahu ta’ala" b. Hadits Nabawi memakai kalimat " qala rasulullah, qala nabi" c. Hadits Qudsi dengan "qala rasulullah fimaa biriwayati ‘an rabbih" 2. Contoh Hadis Qudsi Description: http://i49.tinypic.com/2cxaqrs.jpg Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : "Saya mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman : "Akulah Raja, dimanakah raja-raja bumi ?" (Hadits ditakhrij oleh Bukhari). Description: http://i50.tinypic.com/2l946qa.jpg Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu Sesungguhnya Allah menggenggam bumi atau bumi-bumi dan langit-langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian Dia berfirman : "Aku Raja". (Hadits ditakhrij oleh Bukhari). B. Hadis Marfuu’ 1. Pengertian Hadis Marfuu’ Al-Marfu’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus). 2. Pembagian Hadis Marfuu’ dan Contoh a. Hadis marfuu’ qauli Adalah segala perkataan yang disandarkan kepada Nabi SAW baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus) 1) Perkataan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku mendengar Rasulullah bersabda begini”; atau “Rasulullah menceritakan kepadaku begini”; atau “Rasulullah bersabda begini”; atau “Dari Rasulullah bahwasannya bersabda begini”; atau yang semisal dengan itu. “dari Jabir telah bersabda Nabi SAW: “baik pekerti adalah pelajaran dan buruk kelakuan itu adalah sial” (HR. ibnu asakir). Hadits diatas dikatakan sebagai Hadits Marfu Qauli Tasrih karena dengan terang-terangan menyatakan dari rasul 2) Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau termasuk sunnah adalah melakukan begini”. “dari umar ia berkata: “do`a itu terhenti antara langit dan bumi, tidak bias naik sedikit pun daripadanya sebelum dishalawatkan atas Nabi” (HR. Turmudzi). Dikatakan Hadits Qauli Hukman karena tidak terang-terangan menyebutkan “nabi telah bersabda” tetapi mengandung hukum atau pengertian bahwa Umar menerima Hadits tersebut dari Rasulullah SAW. b. Hadis marfuu’ fi’li Adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi SAW baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus) 1) Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat Rasulullah melakukan begini” “dari Anas: Rasulullah SAW telah memerdekakan shafiyah dan beliau jadikan memerdekakanya itu sebagai mahar “. Dengan tegas Hadits ini menerangkan tentang perbuatan Nabi yakni memerdekakan shafiyah. 2) Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari shahabat semata (melainkan dari Rasulullah). Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud [Burud merupakan jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)]. “bahwa Ali Bin Abi Thalib pernah shalat kusuf 10 ruku` dengan 4 sujud”. Hadits diatas menerangkan tentang Ali yang shalat kusuf dengan 10 ruku` dengan 4 sujud. Ali tidak akan melakukan ini kecuali melihat atau mendapi Rasulullah melakukannya juga. Maka Hadits ini dianggap Marfu fi`li hukman, karena dzahirnya bukan Nabi yang mengerjakan. c. Hadits marfuu’ taqriri Adalah segala ketetapan yang disandarkan kepada Nabi SAW baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus) 1) Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah”; atau “Si Fulan telah melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah dan dia (shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah terhadap perbuatan itu. “dari Ibnu Abbas ia berkata: kami pernah shalat dua rakaat sesudah terbenam matahari, sedang Nabi melihat kami, tetapi beliau tidak memerintah kami dan tidak melarang kami”. (HR. Muslim). Hadits diatas dianggap Marfu Taqriri Tasrih karena secara terang-terangan Nabi malihat, namun tidak menyuruh ataupun melarang dengan kata lain Nabi membenarkan. 2) Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat begini/demikian pada jaman Rasulullah”. “dari Anas Bin Malik: sesungguhnya pintu-pintu (rumah) Nabi SAW diketuk dengan jari-jari (HR. Bukhari). Hadits diatas dinyatakan sebagai Hadits Marfu taqriri hukman karena perbuatan sahabat yang mengetuk rumah Rasulullah, dan Rasulullah tidak melarang maupun menyuruh, dengan kata lain membenarkan perbuatan para sahabat d. Hadis marfuu’ washfi Adalah segala sifat yang disandarkan kepada Nabi SAW baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus) 1) Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat Rasulullah sebagaimana dalam hadits Ali ra,”Nabi itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah Nabi berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”. 2) Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir menunjukkan bahwa Nabi yang menghalalkan dan mengharamkan. Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari pelakunya, dan Rasulullah adalah yang menghalalkan dan mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi sebagai sesuatu yang marfu’. C. Hadis Mauquf 1. Pengertian Hadis Mauquuf Secara etimologi Mauquf adalah ‘yang terhenti’. Dalam istilah, Hadits Mauquf berarti Hadits yang disandarkan kepada Sahabat, berupa ucapan, perbuatan atau Taqrir. Dalam Hadits Mauquf dikenal istilah “Mauquf pada lafadz, tetapi Marfu pada hukum” artinya. Hadits Mauquf ini lafadznya berasal dari sahabat sedangkan hukumnya dari Rasulullah SAW. 2. Contoh Hadis Mauquuf a. Perkataan “dari Abdullah (Bin Mas`Ud), ia berkata : “jangan lah hendaknya salah seorang dari kamu taqlid agamanya dari seseorang, karena jika seseorang itu beriman, maka ikut beriman, dan jika seseorang itu kufur, ia pun ikut kufur”. (H.R. Abu Na`im). Abdullah Bin Mas`ud adalah seorang sahabat Nabi, maka ucapan diatas disandarkan kepada Abdullah Bin Masu`ud. b. Perbuatan “dari Abdillah Bin Ubaid Bin Umar ia berkata: umar menyuruh kepada seorang anak laki-laki memilih antara ayah dan ibunya. Maka anak itu memilih ibunya , lalu ia membawa ibunya. (Kitab Al Muhalla). Umar adalah sahabat Nabi SAW, riwayat diatas menunjukan kepada perbuatan Umar untuk memilih antara ibu dan ayahnya. c. Ketetapan “dari Zuhri, bahwa Atikah Binti Zaid Bin Amr Bin Nufail jadi hamba Umar Bin Al khattab adalah Atikah pernah turut shalat dalam mesjid. Maka umar berkata kepadanya: demi Allah engkau sudah tahu, bahwa aku tidak suk perbuatan ini. Atikah berkata: demi Allah aku tidak mau berhenti sebelum engkau melarang aku. Akhirnya Umar berkata: aku tidak mau melarang dikau. (Al Muhalla 4:202). Umar adalah sahabat Nabi SAW. Dalam riwayat tersebut diunjukan bahwa ia membenarkan perbutan atikah yaitu shalat di mesjid. D. Hadis Maqthuu’ 1. Pengertian Hadis Maqthuu’ Maqthu artinya: yang diputuskan atau yang terputus; yang dipotong atau yang terpotong. Menurut ilmu Hadits, Maqthu adalah “perkataan, perbuatan atau taqrir yang disandarkan kepada tabi`in atau orang yang berada pada tingakat dibawahnya”. Hadits Maqthu tidak bisa dipergunakan sebagai landasan hukum, karena Hadits Maqthu hanyalah ucapan dan perbuatan seorang muslim. Tetapi jika didalamnya terdapat qarinah yang baik, maka bisa diterima. 2. Contoh Hadis Maqthuu’ a. Perkataan “dari Abdillah Bin Sa`id Bin Abi Hindin, ia berkata: aku pernah bertanya kepada Sa`id Bin Musaiyib; bahwasanya si fulan bersin, padahal imam sedang berkhutbah, lalu orang lain ucapkan “yarhamukallah” (bolehkan yang demikian?) jawab Sa`id Bin Musayib “perintahlah kepadanya supaya jangan sekali-kali diulangi”. (Kitab Al Atsar). Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu. Tidak mengandung hukum b. Perbuatan “dari Qatadah, ia berkata: adalah Sa`id Bin Musaiyib pernah shalat dua rakaat sesudah ashar. (Kitab Al Muhalla). Sa`id Bin Musayaib adalah seorang tabi`in, dan Hadits diatas adalah Hadits Maqthu berupa cerita tentang perbuatannya. Tidak mengandung hukum c. Ketetapan “dari hakam bin utaibah, ia berkata: adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih (juga shalat disitu). (Kitab Al Muhalla). Syuraih ialah seorang tabi`in. riwayat Hadits ini menunjukan bahwa syuraih membenarkan seorang hamba jadi imam.
Share this post :

Posting Komentar

Facebook_eDUKA

YM Edukasi

 
Support : dzulcyber.com | DownloadRPP | BerintaNanggroe
Copyright © 2015. EDUKASI KITA - All Rights Reserved
Admin by dzulcyber.com
Proudly powered by Blogger